Persekusi Fiera Lovita: Diburu, Diteror, dan Diintimidasi...
KARTUREMI, JAKARTA,- Fiera Lovita, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Solok, Sumatera Barat, akhirnya berani mengungkapkan kronologi tindakan Persekusi oleh sekelompok orang dari organisasi masyarakat (ormas) tertentu beberapa waktu lalu.
Dengan didampingi Koalisi Masyarakat Sipil Anti- Persekusi, Fiera menggelar konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2017).
Dia mengaku merasa tertekan setelah mengalami Persekusi berupa teror dan intimidasi.
Fiera, yang akrab disapa Dokter Lola itu, tidak paham mengapa ia mengalami tindakan Persekusi setelah menulis status di akun Facebook-nya yang bernada sindiran terhadap tokoh tertentu.
"Saya hanya mengemukakan pendapat saya seperti yang dilakukan oleh netizen lain," ujar Fiera.
Tindakan Persekusi berawal saat Fiera membuat tiga status pada akun Facebook-nya pada 19 hingga 21 Mei 2017.
Status tersebut dia buat setelah menyaksikan berita konferensi pers pihak kepolisian di televisi terkait tentang kebenaran barang bukti kasus kasus chat WhatsApp Firza Husein dan Rizieq Shihab.
"Saya hanya menanggapi berita kaburnya seorang tokoh yang akan diminta keterangannya oleh polisi di Jakarta dalam kasus chat mesum dan kasus hukum lain yang menimpa tokoh tersebut," kata Fiera.
Ternyata, ada ormas yang tidak suka dengan status yang diposting Fiera.
Pada 22 Mei 2017, sekitar pukul 13.00 waktu setempat, beberapa orang mendatangi Fiera yang tengah berada di dalam mobil bersama kedua anaknya.
Mereka mengetuk-ngetuk jendela mobil Fiera.
Karena ketakutan, Fiera menghubungi Kanit Intel Polisi Kota Solok bernama Ridwan yang sebelumnya meminta keterangan Fiera terkait status Facebook itu, tanpa menunjukkan surat tugas.
Setelah tiba, Ridwan berbicara dengan perwakilan dari orang-orang yang mengaku anggota ormas.
Saat itu, kata Fiera, anak-anaknya menangis karena ketakutan melihat keberadaan mereka.
Mereka juga ketakutan karena melihat Ridwan membawa pistol kecil yang diselipkan di pinggang belakangnya.
"Anggota FPI itu menyuruh saya minta maaf dan berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi. Kemudian meminta saya membuat surat pernyataan dengan tulisan tangan di atas kertas dan difoto. Mereka meminta saya untuk secepatnya memposting surat pernyataan permintaan maaf tersebut di akun Facebook milik saya," ujar Fiera.
Tindakan intimidasi ternyata tidak berhenti sampai di situ.
Setelah memposting pernyataan maaf, Fiera malah menemukan foto-fotonya tersebar di media sosial dengan komentar provokatif dan tidak senonoh.
Pada selasa 23 Mei 2017, diadakan pertemuan antara Fiera dengan sejumlah petinggi ormas keagamaan bersama Kepala Kepolisian Kota Solok Kompol Darto, Kasat Intel Ridwan dan jajaran direksi RSUD Kabupaten Solok.
Dalam pertemuan tersebut, Fiera diminta menyampaikan permintaan maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Dia juga diminta membuat surat pernyataan maaf dan ditandatangani oleh Fiera serta beberapa orang yang hadir dalam pertemuan tersebut.
"Saya pikir dengan pertemuan tersebut semua masalah akan selesai, ternyata tidak sama sekali. Foto-foto pertemuan tersebut kembali menjadi viral di media sosial, mereka terus membicarakan dan menggunjingkan saya," kata dia.
Pertemuan yang seharusnya menyelesaikan masalah dan membuat suasana menjadi damai, ternyata bagi ormas itu dianggap tidak cukup.
Foto-foto pertemuan disebar melalui media sosial dengan kata-kata yang provokatif.
Dia dituduh menghina ulama dan agama Islam.
Sejak saat itu, teror dan intimidasi kerap diterima oleh Fiera. Rumahnya sering didatangi oleh orang-orang tak dikenal dan minta untuk bertemu.
Trauma
Akibat teror dan intimidasi, kedua anaknya yang berumur 8 dan 9,5 tahun juga mengalami trauma.
Menurut Fiera, anak-anaknya kini merasa takut dan tidak mau kembali pulang ke rumah.
"Anak saya merasa takut dan menangis. Takut pulang karena takut rumah diserbu," ujar Fiera, sambil berupaya menahan tetesan air mata.
Atas pertimbangan keselamatan jiwa anak-anak dan dirinya, Fiera memutuskan untuk pergi dari Solok untuk sementara waktu.
Dia merasa tidak ada pihak yang mampu melindungi.
Fiera mengaku tidak mendapat dukungan nyata dari teman sejawat maupun pihak lain yang berada disekitarnya.
Bahkan beberapa rekan di kantornya memilih aman dengan menjauhi Fiera.
"Saya memutuskan untuk berkeinginan keluar dari Kota Solok, Sumatera Barat ini. Saya tidak mempunyai pilihan lain lagi," ujar Fiera.
"Tidak ada pihak yang akan melindungi saya di sana, ditambah suasana di lingkungan pekerjaan yang sudah tidak nyaman lagi," kata dia.
Pemburuan yang sistematis
Tindakan Persekusi yang dialami Fiera bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi.
Seorang anak menjadi korban teror dan intimidasi ormas di kawasan Jakarta Timur.
Beredar sebuah video di media sosial seorang anak dikelilingi pria dewasa yang merupakan ormas tertentu.
Para anggota ormas itu mengintimidasi sang anak.
Tidak hanya itu, beberapa orang anggota ormas sempat memukul sang anak di bagian kepala dan wajah.
Sang anak itu tampak hanya diam dengan wajah ketakutan.
Melihat fakta tersebut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengindikasikan Persekusi sebagai perbuatan yang sistematis atau meluas.
Hal ini tampak dari meluasnya aksi Persekusi di beberapa wilayah dan dalam jangka waktu yang bersamaan.
"Dalam waktu yang berdekatan di tempat yang berbeda terjadi perburuan, ini menunjukkan aksi tersebut dilakukan secara sistematis," ujar Asfinawati.
Asfinawati pun mendesak kepolisian dan Komnas HAM melakukan investigasi dan menindak pelaku Persekusi yang belakangan marak terjadi.
Menurut dia, jika aparat penegak hukum tidak bertindak, tindakan semacam ini semakin meluas dan mengancam demokrasi.
Sebab, sekelompok orang mengambil alih fungsi penegak hukum untuk menetapkan seseorang bersalah dan melakukan penghukuman tanpa melalui proses hukum.
"Ketakutan yang menyebar akan menjadi teror yang melumpuhkan fungsi masyarakat sebagai ruang untuk saling berbicara, berdebat secara damai sehingga menjadi masyarakat yang dewasa dalam menyikapi perdebatan," ujar dia.
Pada kesempatan yang sama, Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto mengatakan, setidaknya terdapat 59 kasus Persekusi yang terjadi sejak Januari hingga Mei 2017.
Fenomena Persekusi tersebut, kata Damar, cenderung meningkat setiap bulannya.
Damar menjelaskan, Persekusi merupakan tindakan teror dan intimidasi dengan cara "memburu" orang-orang yang dianggap menghina tokoh tertentu.
Tindakan tersebut dilakukan secara sewenang-wenang sistematis dan meluas, hingga menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis.
Dalam banyak kasus, kata Damar, aparat penegak hukum tidak bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang melakukan Persekusi.
"Sejak 27 Januari 2017 hingga saat ink ada 59 kasus Persekusi dan jika dilihat dari data yang kami dapat, kasus Persekusi cenderung meningkat tiap bulannya," kata Damar.
Untuk mencegah korban Persekusi semakin bertambah, Damar bersama kelompok masyarakat sipil lainnya membuka hotline Crisis Center.
Siapapun yang menjadi korban Persekusi dapat meminta perlindungan dan bantuan hukum melalui nomor 081286938292 atau E-mail ke antipersekusi@gmail.com.
"Kami membuka crisis center ini untuk memberikan perlindungan dan bantuan bagi siapapun yang menjadi korban Persekusi," jelas Damar.
Secara terpisah, Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, mengimbau agar korban Persekusi tak perlu takut lapor polisi.
Dia mengaku sudah mendengar kabar seorang anak menjadi korban dan geram terhadap organisasi masyarakat tertentu yang kerap melakukan Persekusi.
"Tidak perlu takut. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ingat negeri ini punya kita, bukan punya mereka," ujar Yaqut.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read
0 komentar: