BBM: 2B42DF7E
Whatsapp: +855-855-92-428
WeChat: KARTU_REMI

February 15, 2018

Publik melawan DPR gugat UU MD3

Publik melawan DPR gugat UU MD3
DPR melindungi diri dari ancaman pidana lewat UU MD3. Koalisi masyarakat sipil hendak menggugat UU MD3. Tapi menunggu Ketua MK Arief Hidayat kena sanksi karena sudah dua kali melanggar etik.

KARTUREMI - Revisi undang-undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) yang disahkan DPR kemarin, langsung ditunggu publik untuk digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Hifdzil Alim, beberapa ada pasal kontroversial yang disahkan DPR dan bertentangan dengan konstitusi.
Menurut Hifdzil, hak imunitas DPR bertentangan dengan konstitusional terutama pada pasal Pasal 122 huruf k yang dianggap DPR antikritik. Padahal menurutnya masyarakat boleh mengajukan kritik kepada DPR sebagaimana kritik kepada pemerintah.
Maka, Pukat UGM berencana akan melayangkan gugatan ke MK terkait UU tersebut. "Pasti (gugat ke MK) kalau memang itu yang diinginkan DPR pasti masyarakat sipil akan menggugat setidaknya Pukat," kata Hifdzil kepada detikcom, Selasa (13/2/2018).
Hifdzil menilai DPR tidak bisa menutup diri dari kritik yang dilakukan masyarakat atas kerja-kerjanya yang menyatakan mewakilkan diri sebagai wakil rakyat.
Kelompok masyarakat sipil yang juga hendak menggugat adalah peneliti Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar. "Kami sudah menyiapkan draft untuk menguji konstitusionalitas UU MD3," kata Erwin kepada Kompas.com, Selasa (13/2/2018).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut revisi beberapa pasal UU MD3 dianggap melanggar konstitusi. Beberapa di antaranya ialah pasal 73 terkait pemanggilan paksa pihak yang diperiksa DPR, pasal 245 terkait pertimbangan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR yang terlibat pidana, dan pasal 122 terkait penghinaan terhadap parlemen.
KPK mendorong masyarakat melakukan gugatan alias judicial review atas aturan itu. Menurut Komisioner KPK Laode M Syarif, salah satu pasal yang bertentangan dengan konstitusi adalah pasal 245, yang mengatur izin pemanggilan anggota DPR yang terjerat hukum.
Pasal itu tegas menyebut anggota DPR yang akan dipanggil penegak hukum mesti mendapat izin presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Pasal tersebut sebelumnya telah dibatalkan MK. Maka, inilah yang membuat Laode menganggap Pasal 245 UU MD3 inkonstitusional.
"Kalau sudah pernah dibatalkan, dianggap bertentangan dengan konstitusi dan dibuat lagi, ya secara otomatis kita menganggapnya itu bertentangan dengan konstitusi dong," kata Syarif di DPR, Selasa (13/2/2018).
Syarif menyebut DPR tak mempertimbangkan prinsip hukum equality before the law, yakni semua orang sama di mata hukum.
KPK membandingkan DPR dan presiden dalam hal penegakan hukum. "Presiden pun tidak membentengi dirinya dengan imunitas seperti itu. Makanya saya juga kaget," kata Syarif
Ketua DPR Bambang 'Bamsoet' Soesatyo mempersilakan masyarakat menggugat Undang-undang MD3 ke Mahkamah Konstitusi. Bamsoet menyatakan, DPR selalu mengacu pada ketentuan hukum dalam membahas UU MD3. Sehingga menurutnya, tak melanggar norma hukum mana pun.
Menurutnya, wajar bila DPR dilindungi kehormatannya melalui hak imunitas yang melekat.
Profesi apapun layak dilindungi kehormatannya selama menjalankan tugas."Setiap profesi memerlukan perlindungan atas kehormatannya, karena beda penghinaan sama kritik," kata Bamsoet seperti dikutip dari Kompas.com.
Tapi publik tak buru-buru menggugat UU MD3. Sebab, publik masih menunggu putusan Dewan Etik MK terhadap Ketua MK Arief Hidayat.
Arief Hidayat sudah dua kali melanggar etik dan kena peringatan. Karena tak mundur juga, ia lalu didesak mundur oleh para guru besar di Indonesia. Selama ini, Arief dinilai tak bersih karena dugaan barter keputusan dengan DPR.
Salah satu putusan yang dia ketuk adalah, memutuskan DPR boleh memanggil KPK dalam Hak Angket.
Erwin Natosmal Oemar berharap Dewan Etik MK bisa memberikan sanksi berat dan memberhentikan Arief dari jabatannya sebagai Ketua MK.
"Kami khawatir dengan formasi MK yang ada saat ini, uji materi bisa jadi bumerang bagi masyarakat sipil," ucap Erwin.



0 komentar: