BBM: 2B42DF7E
Whatsapp: +855-855-92-428
WeChat: KARTU_REMI

February 15, 2018

Rumah Sakit di Swedia Sediakan Layanan Khusus Bagi Pria Korban Perkosaan


KARTUREMI, Kejahatan seksual memang menjadi ancaman serius dalam kehidupan bermasyarakat di manapun berada. Tidak peduli di negara maju atau berkembang, pria atau wanita juga bisa menjadi korban kejahatan seksual, khusunya perkosaan. Tragisnya, pelaku perkosaan kerap tidak memandang usia korban, baik dewasa, remaja, bahkan baru-baru ini terjadi perkosaan terhadap bayi berusia 8 bulan di India. Benar-benar keterlaluan!

1. Penyintas kerap mendapatkan masalah fisik dan mental


Korban perkosaan atau yang biasa disebut penyintas, tentu akan mengalami beban kesehatan yang psikologis yang luar biasa. Dari segi kesehatan, bukan tidak mungkin korban mendapatkan penyakit menular seksual, peradangan pada alat kelamin, hingga kehamilan yang tidak diingingkan.

Dari segi mental, para penyintas pasti mengalami trauma dari kejadian yang menimpanya. Ketika rasa trauma tidak dapat ditanggulangi dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan kondisi penyintas akan semakin parah dengan mengalami depresi, menyalahkan diri sendiri, gangguan mental, penyalahgunaan obat-obatan, hingga bunuh diri.

2. Bukannya mendapat dukungan, para korban pelecehan seksual kerap sulit memperoleh keadilan


Penyelesaian kasus perkosaan memang menjadi tantangan besari di Indonesia. Dilansir dari BBC, hasil survei daring yang dilakukan tahun 2016 menunjukkan bahwa sebanyak 93% penyintas kasus perkosaan tidak melaporkan kasus mereka kepada pihak yang berwajib. Hasil survei juga menunjukkan hanya 1% dari 25.214 responden yang menyebutkan bahwa kasus mereka telah dituntaskan secara hukum.

Tentu menjadi sebuah pertanyaan mengapa sebagian besar dari penyintas tidak melaporkan kasus yang mereka alami. Ternyata, banyak responden yang mengatakan bahwa salah satu alasan adalah karena adanya kondisi yang dinilai tidak memihak korban. Misalnya di saat korban diminta untuk menunjukkan bukti atau saksi ketika kejahatan tersebut terjadi. Padahal, yang namanya perkosaan, pelaku pasti akan menghilangkan semua bukti yang ada. Atau misalkan kondisi di mana penyintas diminta untuk menceritakan kronologis kejadian. Tentu hal tersebut akan memunculkan trauma yang justru akan memperburuk kondisi penyintas.

Sialnya lagi, masyarakat justru kerap menyalahkan korban dan memaklumi adanya tindak perkosaan tersebut. Misalnya dengan menyalahkan pakaian yang dikenakan korban atau menyalahkan korban yang keluar di malam hari. Padahal, pelaku perkosaan tidak memandang waktu maupun pakaian yang dikenakan korban.

3. Menyadari hal tersebut RS di Swedia ini memberikan pelayanan bagi para korban perkosaan, baik pria maupun perempuan


Sadar akan kondisi kesehatan maupun psikis dari korban perkosaan, sebuah rumah sakit di Swedia ini menyediakan layanan bagi para penyintas, baik pria maupun wanita. Klinik darurat bagi pria korban perkosaan di rumah sakit South General ini merupakan yang pertama di dunia. Sebelumnya, rumah sakit ini sudah memiliki layanan rawat jalan untuk menangani kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual yang dialami wanita.

Meski kerap dianggap tabu, pelecehan seksual juga dapat menimpa pria. Di tahun 2014, tercatat sebanyak 370 kasus pelecehan menimpa pria di Swedia. Sehingga, sangat penting para korban, pria maupun wanita untuk mendapatkan akses perawatan darurat. Pihak rumah sakit mengaku memiliki layanan 24 jam bagi para penyintas dan akan ditangai segera oleh para dokter, bidan, perawat, psikolog, dan pekerja sosial.



Sumber : https://health.idntimes.com

0 komentar: