Bukan PSK, Ini 5 Fakta Geisha Jepang yang Tak Banyak Diketahui Orang
KARTUREMI, Kyoto - Geisha atau geiko menjadi salah satu ikon Jepang. Di mata orang luar yang minim pengetahuan soal Negeri Sakura, geisha adalah pekerja seks komersial (PSK) perempuan yang menggunakan bedak tebal berwarna putih.
Namun, anggapan tersebut salah. Bahkan sepenuhnya tak benar. Geisha bukan PSK dan mereka tak selalu membubuhkan bedak tebal berwarna putih di wajahnya. Bahkan, geisha tak selalu perempuan.
Geisha sejatinya adalah seniman sekaligus penghibur tradisional Jepang. Untuk mendapatkan status tersebut bukan perkaran gampang.
Mereka harus bekerja keras mengasah bakat artistiknya, berlatih memainkan musik dan menari selama bertahun-tahun.
Geisha biasanya memainkan alat musik gesek yang disebut shamisen, dan beberapa dari mereka bahkan terkenal karena menggubah musik sendiri yang berirama "melankolis".
Sementara, lainnya punya nama setelah merancang tarian yang lambat dan anggun yang dipenuhi simbolisme yang kompleks.
Pada masa kejayaannya, mereka memulai pelatihannya pada usia muda, bahkan ada yang masih bocah berusia 6 tahun.
Rumah-rumah geisha menggelar pelatihan seni. Para gadis muda akan dipasangkan dengan mentor pribadi.
Rata-rata, seorang gadis menempuh banyak pelatihan selama lima tahun atau lebih sebelum dia diizinkan untuk menyebut dirinya seorang geisha.
Seperti dikutip dari situs Listverse, berikut 5 fakta geisha Jepang yang jarang diketahui orang:
1. Geisha bukan PSK
erlepas dari apa yang pernah Anda dengar, geisha tidak menjual tubuhnya pada para pelanggan. Faktanya, mereka bahkan dilarang keras melayani tetamunya hingga ranjang.
Geisha dipekerjakan untuk menjamu pelanggan pria, bergiliran dengan PSK kelas tinggi yang disebut oiran.
Para geisha bertugas memainkan musik, menari, dan menggoda para pria agar mereka tetap terhibur sementara mereka menunggu kedatangan oiran.
Tugas para geisha adalah menjaga agar para pria tidak keluar dari ruangan dan membuat mereka merasa seakan punya aura memesona.
Mereka membiarkan para lelaki itu membayangkan diri mereka sebagai kuda jantan yang bisa merayu wanita cantik, bukannya para hidung belang yang putus asa yang harus membayar untuk mendapat layanan seks. Namun, para geisha dilarang berhubungan seks dengan para pria
Beberapa rumah bordil bahkan melarang geisha duduk terlalu dekat dengan para pelanggan, khawatir mereka bakal 'mencuri' rejeki para oiran.
Sikap itulah yang dibanggakan para geisha, sehingga pada Abad ke-19 mereka punya semacam semboyan. "Kami menjual seni, bukan tubuh. Kami tak pernah menjual diri, tubuh kami, untuk uang."
Lantas, mengapa orang Barat, khususnya, mengira geisha adalah PSK?
Ternyata ada sejarahnya. Pada akhir Perang Dunia II, para PSK berbondong-bondong mendatangi sejumlah anggota militer Amerika Serikat yang ditempatkan di Jepang.
Saat ditanya, mereka mengaku sebagai geisha -- tentu saja bukan yang asli.
Para perempuan tersebut berusaha memancing pada tentara AS dengan fantasi eksotis tentang geisha. Pada akhir perang, sejumlah perempuan Jepang yang putus asa rela menukarkan tubuh mereka demi bisa beli makanan. Meski untuk itu, mereka harus tidur dengan musuh.
2. Geisha pertama adalah pria
Sejarah mencatat, perempuan belum menjadi geisha hingga tahun 1751. Kala itu, gagasan seorang wanita bisa menjadi geisha dianggap aneh.
Sampai-sampai rumah minum mengiklankan mereka sebagai 'geisha perempuan', sebab, hingga saat itu, setiap geisha adalah seorang pria.
Geisha pria sudah ada sejak ratusan tahun. Namun, mereka belum menyebut diri sebafai 'geisha' hingga tahun 1600-an.
Namun, sejak Abad ke-13, dilaporkan ada sejumlah pria yang melakukan kerja para geisha: menghibur tuannya dengan menyajikan teh, membawakan lagu, menceritakan lelucon, dan membuat mereka merasa seperti orang paling penting di ruangan.
Pada tahun 1600-an, para pria tersebut menyebut diri mereka dengan geisha dan bekerja di rumah pelacuran kelas tinggi.
Tugas mereka adalah menghibur para tamu, membuat mereka tetap senang, selagi menanti para PSK.
Meski kini lebih berasosiasi dengan perempuan, namun, masih banyak pria di Jepang yang bekerja sebagai geisha.
Salah satu laporan menyebut, ada sekitar 7.000 geisha pria yang bekerja di Distrik Kabuki-Cho, Tokyo.
Geisha pria kembali bermunculan pada tahun 1960-an ketika pasar untuk para perempuan tajir yang ingin menghabiskan waktu, menanti para suami pulang kerja, mulai terbuka.
Tak mau kalah dengan para suami yang kerap mengadakan rapat di rumah geisha, para istri juga merasa berhak memiliki rumah geisha untuk mereka -- jadi para perempuan tersebut membayar sejumlah pria penghibur.
Saat ini, ada sejumlah klub di mana para perempuan bisa menyewa jasa 'geisha pria' -- yang lebih sering disebut hosuto.
Tak seperti geisha asli, para hosuto tak punya keterampilan seni seperti pendahulu mereka zaman lampau. Namun, setidaknya, mereka bisa menemani para pelanggan minum, memuji mereka, dan membuat para perempuan berduit itu merasa istimewa.
3. Geisha perempuan berpakaian pria
ebelum geisha pria, ada juga kelompok yang disebut shirabyoshi. Mereka adalah perempuan, namun menyamar sedemikian rupa untuk menyembunyikan identitas mereka dari pelanggan.
Para perempuan itu mengenakan pakaian pria. Shirabyoshi adalah penari perempuan yang pekerjaannya mirip dengan geisha.
Mereka mengenakan riasan putih, bercerita, memainkan pertunjukan, bermain musik, dan menghibur tamu.
Tak ada yang 100 persen yakin mengapa para perempuan tersebut mengenakan pakaian pria. Namun, teori paling populer menyebut, hal itu dilakukan untuk menarik perhatian samurai.
Kala itu, kebanyakan samurai memiliki kekasih sesama jenis yang usianya jauh lebih muda.
4. Pitak di puncak kepala
Salah satu mengenali geisha tanpa kostum dan riasan adalah dari pitak di puncak kepala mereka.
Saat bekerja, pitak itu biasanya ditutupi dengan wig atau disamarkan dengan tatanan rambut.
Diam-diam, semua geisha di Jepang punya bagian tak berambut di kepala mereka -- yang didapat saat mereka menjalani pelatihan sebagai maiko.
Maiko diwajibkan punya tatanan rambut yang luar biasa, yang mengharuskan mereka untuk menarik kumpulan rambut di bagian atas kepala mereka -- agar membentuk semacam konde.
Kebiasaan itu menyebabkan begitu banyak tekanan pada rambut, yang akhirnya akan rontok dan tidak pernah tumbuh kembali.
Para geisha menyebut pitak itu sebagai "medali kehormatan maiko". Di Jepang, itu dianggap sebagai tanda kebanggaan. Namun, para geisha yang baru pulang dari Eropa merasa malu dan terhina gara-gara disinggung soal pitak di kepala mereka.
5. Makin senior, dandanan makin simpel
Citra geisha dalam benak banyak orang adalah gadis dengan kimono dan dekorasi yang rumit di rambutnya, seluruh wajahnya ditutupi bedak atau cat putih.
Ternyata, itu bukan tampilan geisha, melainkan maiko -- para magang. Cat wajah putih dan ornamen yang mereka kenakan sebenarnya adalah simbol dari kurangnya pengalaman.
Tidak semua geisha masih muda. Makin senior geisha, ia justru kian dihargai. Pada masa kejayaan mereka, geisha yang paling populer berusia sekitar lima puluhan dan enam puluhan.
Geisha percaya bahwa mereka menjadi lebih cantik saat mereka tumbuh dewasa, dan semakin tua usia seorang penghibur, mereka boleh memamerkan wajah asli mereka tanpa bedak.
Seorang geisha muda wajib memakai cat wajah putih di acara-acara khusus, namun begitu dia berusia 30 tahun, dia akan diizinkan untuk tak memakainya.
Geisha akan pensiun jika mereka menikah. Geisha tertua yang masih bekerja saat ini, Yuko Asakusa, berusia 94 tahun dan telah bekerja sebagai geisha sejak dia berumur 16 tahun.
Geisha yang berusia 94 tahun itu dianggap premium. Dia biasanya dipekerjakan oleh politisi dan pebisnis yang sangat kaya.
Sumber : https://www.liputan6.com/g
0 komentar: