Putra Amrozi: Tak Mudah Menjadi Anak Napi Terorisme
KARTUREMI, Lamongan - Menjadi anak dari seorang terpidana teroris tak pernah mudah. Hal itu dirasakan betul oleh putra Amrozi, Zulia Mahendra (32). Selain harus bersusah payah mengahapus dendam, sanksi sosial pun bertahun-tahun dirasakannya. Cap sebagai anak teroris yang melekat padanya membuat aksesnya untuk mendapatkan pekerjaan terhambat. Bahkan, label tersebut berimbas juga kisah percintaannya. Keluarga sang calon istri sempat mempertanyakan sosoknya yang merupakan putra Amrozi.
Alih-alih meratapi nasib, ia lebih memilih menata kembali hidupnya. Berkat bantuan dan motivasi orang terdekat, Hendra kini melanjutkan hidup layaknya orang pada umumnya. Bahkan, dia kini menjadi Direktur Operasional di salah satu CV bidang konstruksi di Lamongan. Ditemui IDN Times usai acara kunjungan Menlu Belanda ke Tenggulun, Rabu (4/7), Hendra menceritakan kisahnya. Berikut kutipan wawancaranya:
Kenangan apa yang masih diingat bersama Abi (Amrozi)?
Kami punya hobi yang sama yaitu motor balap road race. Bahkan, kami pernah bertemu di Kejuaraan Daerah di Tuban. Aku ikut tim Surabaya, Abi punya joki sendiri. Paddock (tempat motor) sebelahan. Aku sama Abi sebenarnya lebih kayak temen.
Seberapa dekat kamu dengan keluarga?
Sebenarnya, dari umur 2 bulan orangtua cerai. Nenek dari ibu sudah ngomong gak bisa menyekolahkan aku. Akhirnya aku lebih banyak hidup di jalan. Sekolah sambil jual asongan. Pulang sekali dua kali, pokoknya gak pernah nginap lama di rumah. Kalau boleh dibilang aku mandiri dari kecil, kebanyakan dibantu teman-teman. Dari kehidupan itu, aku mencoba berpikir dewasa. Berpikir kehidupan ke depan.
Apakah Abi tahu kehidupanmu yang seperti itu?
Tidak tahu. Jadi terakhir ketemu itu waktu ada kejadian (Bom Bali 1). Selisih berapa hari Abi main ke kosku di Babat. Aku tanya, dari mana aja bi, dia jawab, 'habis ini gak kemana-mana lagi, pulang'. Aku diminta selesai UNAS pulang. Ternyata waktu pulang ditangkap itu. Kejadian kelas 3 SMK. Alhasil, pulang tidak ketemu.
Apakah sebelumnya tidak mengetahui berita di TV dan sketsa yang disebar oleh kepolisian?
Aku gak mengira kalau Abi terlibat. Sketsa condongnya ke Ali Imron. Giginya patah sama kayak aku. Malah yang kena pertama kok Abi. Waktu itu aku gak tahu. Tapi terakhir pulang kok peralatan bengkelnya gak ada.
Setelah tertangkap, berapa kali mengunjungi Abi ke Lapas?
Kalau membesuk aku pernah ke Lapas Denpasar sekali. Lalu ke Lapas Nusa Kambangan tiga kali.
Sewaktu di Lapas Nusa Kambangan, apakah ada pesan dari Abi?
Pesen yang terkahir dari Abi, "Kamu jangan takut sama siapapun, sama apapun. Kamu coba cari jati diri kamu sendiri". Abi juga gak pernah menawarkan ajakan untuk bergabung ke kelompoknya.
Apakah ada dendam pasca eksekusi mati?
Sebelum jenazah datang aku bikin spanduk gede bertuliskan mau balas dendam. Sampai akhirnya ngomong ke Ustadz Ali Fauzi minta diajarin (buat bom), tapi tidak diajarin. Akhirnya otodidak main senjata, bermula dari mainan itu aku modifikasi. Senjata sendiri, aku rakit sendiri dan sudah aku modifikasi.
Bagaimana bisa mengurungkan niat untuk balas dendam?
Aku berpikir, ke depan aku gak bisa seperti ini. Daripada ngotot tanpa ada tujuan mending aku memilih menata masa depan. Aku juga dapat motivasi Ustadz Ali Fauzi dan Ali Imron. Tiap ketemu mereka selalu memberi arahan.
Lantas apa kesibukanmu saat ini, kabarnya kamu juga kuliah?
Ya sempat kuliah diploma, tapi belum dilanjut lagi. Banyak jadwalnya yang kres dengan kerjaan. Sampai sekarang belum dilanjut lagi.
Sekarang katanya sibuk ngurusin perusahaan konstruksi?
Alhamdulillah sekarang naik jadi Direktur Operasional di sebuah CV yang didirikan keluarga. Pada CV ini kami ini membantu mantan napi teroris yang baru keluar dari penjara. Ada teman yang mau keluar butuh pekerjaan kesusahan pekerjaan, aku carikan sebisa mungkin di CV ini, kalau tidak ada kami carikan di CV relasi.
Karena Aku pernah mengalami. Bahkan dulu melamar kerja belum masukin, aku ditolak. Aku akhirnya sempat kerja di beberapa tempat, mulai debt collector hingga usaha jual beli beli komputer bekas. Semua kerjaan aku pernah. Sampai akhirnya aku punya modal pulang dari Brunei Darussalam menghidupkan usaha kontruksi keluarga yang vakum. Saat itu aku masih punya dendam, kalau aku punya kerjaan diganggu anggota polisi, ayo perang aja.
Kabarnya tak hanya cari pekerjaan, mau menikah juga ada penolakan dari lingkungan calon istri, benar begitu?
Awalnya ada penolakan, di Sukodadi, di kampungnya istri aku disebut anaknya teroris. Tapi saat pernikahan, datang semua, termasuk Bupati Lamongan Fadeli, Kapolres Lamongan, hingga Danramil Lamongan. Itu yang bisa mengubah mindset orang di situ kalau kita ini teman. Sekarang tidak ada ngomong teroris. Malah keluarga istri dibilangin enak ini didatangi Bupati dan petinggi Lamongan pas mantu. Kalau ada anggapan awal teroris itu di Tenggulun, orang di sana belum tahu bagaimana perubahannya di sini. Pas nikah bisa mengubah pemikiran orang sana.
Kalau keluarga istri bagaimana?
Aku dua tahun pacaran, awalnya tidak menerima. Kalau dikasih tahu diam saja. Gak usah membantah. Nantinya, semua kebenaran akan terungkap. Orang ngomong apa tentang aku nanti juga terbuka. Orang di sini ngomong gak usah didengerin memang jodohnya itu.
Melihat kisah terjal yang dilalui, apakah ada pesan untuk generasi millennials?
Kita sebagai generasi penerus, kalau belum paham jangan ikut-ikutan. Jalani hidup saja secara normal. Teknologi jangan negatif yang dipelajari. Positif masih banyak.
Sumber : https://www.idntimes.com/
0 komentar: